HKN 2018 : POTRET KESEHATAN INDONESIA KINI






Hari Kesehatan Nasional (HKN) diperingati setiap tanggal 12 November.  HKN merupakan gerakan nasional yang diprakarsai oleh Presiden Ir. Soekarno, dilaksanakan dengan tujuan untuk penguatan pembangunan kesehatan di Indonesia yang mengutamakan pada upaya preventif dan promotif, namun juga tidak mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif. Gerakan ini melibatkan seluruh komponen masyarakat Indonesia guna menanamkan dan memasyarakatkan paradigma sehat. Selain itu, peringatan hari kesehatan nasional juga mampu menjadi momentum dalam menggaungkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) kepada seluruh elemen masyarakat dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan.
HKN sudah diperingati sejak 54 tahun yang lalu, dan sejak itu pula Indonesia mulai berfokus pada upaya pembangunan kesehatan bangsa. Selama 54 tahun perjalanan pembangunan kesehatan di Indonesia, telah terdapat banyak pencapaian yang membawa bangsa Indonesia ke dalam kondisi kesehatan yang baik. Berikut adalah beberapa pencapaian selama 54 tahun pembangunan kesehatan di Indonesia, dilansir dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) :

1. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Program JKN menjamin seluruh masyarakat agar mampu untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak sesuai dengan kebutuhannya. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memberi perlindungan finansial bagi masyarakat miskin dalam memperoleh akses kesehatan melalui peserta JKN PBI (Penerima Bantuan Iuran). Total penduduk penerima PBI adalah 87,8 juta jiwa dengan total iuran sebesar Rp. 19,8 Triliun (2015). Lalu meningkat menjadi 91,1 juta jiwa dengan total iuran Rp. 24,8 Triliun pada 2016, dan kembali meningkat pada 2017 menjadi 92,3 juta jiwa dengan iuran sebesar Rp. 25,4 Triliun.  Jumlah fasilitas kesehatan yang menerima layanan JKN/KIS juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tercatat pada tahun 2016 terdapat 20.708 fasilitas kesehatan tingkat pertama, 2.068 fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, dan 2.921 fasilitas apotek dan optik yang menerima layanan JKN. Lalu meningkat pada tahun 2017 menjadi 21.763 fasilitas kesehatan tingkat pertama, 2.292 fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, dan 3.380 fasilitas apotek dan optik. Selanjutnya, dalam hal pemanfaatan JKN/KIS oleh masyarakat juga mengalami peningkatan. Pada 2014 hanya 92,3 juta jiwa yang memanfaatkan program JKN/KIS, lalu meningkat menjadi 146,7 juta jiwa pada 2015 dan 192,9 juta jiwa pada 2016.

2. Sumber Daya Manusia Bidang Kesehatan.
Pemerataan penempatan tenaga kesehatan sangat perlu diperhatikan karena di daerah-daerah terpencil cenderung banyak masyarakat yang kurang mendapat layanan kesehatan. Maka dari itu, Kemenkes telah melakukan penempatan tenaga kesehatan di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan. Hingga pada tahun 2017, Kemenkes telah menempatkan 6.316 tenaga kesehatan yang terdeiri dari nusantara sehat (NS) secara team based sebanyak 2.486 orang, NS secara individu 1.663 orang, Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) sebanyak 870 orang dan penugasan khusus calon dokter spesialis sebanyak 1.297 orang.

3. Pembangunan dan Mutu Infrastruktur Kesehatan
Pada rentang tahun 2016 hingga 2017 Kemenkes telah melakukan berbagai upaya guna meningkatkan pelayanan kesehatan di 124 Puskesmas perbatasan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Afirmasi.  Pada 2017, pemerintah telah melakukan rehabilitasi terhadap 375 puskesmas, 750 pembangunan puskesmas baru, 17 pembangunan Public Safety Center, 34 Puskesmas keliling, 537 Pusling ambulans roda empat, 1650 ambulans roda dua, dan 86 ambulans guna meningkatkan layanan kepada masyarakat. Selain itu, juga dilaksanakan pengadaan 2.525 sarana rasarana puskesmas dan 10.437 alkes di puskesmas.  Sementara itu pada fasilitas kesehatan rumah sakit rujukan telah terdapat 104 RS rujukan regional, 20 RS rujukan provinsi dan 4 RS rujukan nasional, serta 408 RSUD lainnya. Sedangkan dalam bidang kefarmasian telah dilakukan penyediaan farmasi di 9.740 puskesmas dan pembangunan 27 instalasi farmasi.

4. Capaian Pengendalian HIV/AIDS di Indonesia
Pada tahun 2016, terdapat 75.614 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang mendapat terapi antiretroviral (ARV), sedangkan pada triwulan ketiga tahun 2017 terdapat sebanyak 87.031 ODHA yang mendapat terapi ARV. Selain itu, sudah terdapat upaya terobosan yang dilakukan untuk pengendalian HIV, yaitu TOP (Temukan ODHA secara dini, segera Obati, dan Pertahankan pengobatan ARV)

5. Upaya Pengendalian Penyakit TB Paru.
Sejak tahun 1999, capaian indikator angka keberhasilan TB (Success Rate/SR) selalu diatas 85% dan tetap bisa dipertahankan hingga saat ini. Pada tahun 2016, terdapat 307 kabupaten/kota yang telah mencapai SR minimal 85%. Selain itu, pemerintah juga telah menggalakan program dengan slogan TOSS (Temukan Obati Sampai Sembuh) TB melalui penguatan kerjasama antara pihak swasta dan pemerintah, serta meningkatkan penemuan kasus dan keberhasilan pengobatan melalui program PIS-PK di puskesmas.

6. Upaya Pengendalian Malaria di Indonesia.
Telah terjadi peningkatan jumlah kabupaten/kota yang bebas malaria dari tahun 2016 sebanyak 247 kabupaten/kota dengan 193 juta penduduk, menjadi 266 kabupaten/kota pada 2017. Selain itu, upaya strategis yang dilakukan adalah pembagian kelambu pada daerah endemis malaria, dengan jumlah kelambu yang sudah dibagikan sebanyak 3.983.000 kelambu.

7. Capaian Eliminasi Filariasis di Indonesia.
Hingga bulan agustus 2017, sudah terdapat 23 kabuaten/kota yang endemis filariasis yang dinyatakan bebas dari kasus filariasis. Inovasi yang dicanangkan pemerintah adalah BELKAGA (Bulan Eliminasi Kaki Gajah), dimana pada bulan tersebut setiap penduduk di daerah endemis kaki gajah wajib minum obat pencegahan secara serentak. BELKAGA dilaksanakan setiap bulan oktober hingga tahun 2019.

Namun, dibalik semua pencapain tersebut, masih ada berbagai masalah kesehatan serius yang saat ini tetap menghantui Indonesia. Sebut saja salah satunya adalah permasalahan Tuberculosis. Kasus TB di Indonesia tidak pernah mengalami penurunan yang signifikan tiap tahunnya. Lalu, menurut data WHO Global Tuberculosis Report 2016, Indonesia menduduki posisi kedua sebagai negara dengan kasus TB terbanyak di Dunia. Pada tahun 2017, terdapat 420.994 kasus TB terjadi di Indonesia. Lalu menurut data WHO, pada tahun 2016 Indonesia masuk dalam 27 negara dengan kasus MDR (Multi Drug Resistant) TB tertinggi di dunia. Angka keberhasilan pengobatan pada penderita TB sudah cukup tinggi, yaitu 84% pada tahun 2015. Namun angka MDR TB juga cukup tinggi dan selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 2014 terdapat 1.752 penderita TB yang mengalami multi drug resistant, dan meningkat pada tahun 2015 menjadi 1.860 penderita TB. Pasien TB terduga MDR juga mengalami peningkatan dari 2014 sebesar 9.399 pasien menjadi 15.380 pasien pada 2015. Kondisi ini dapat menunjukan dua keadaan, pertama adalah menunjukan bahwa memang upaya penanggulangan TB di Indonesia sudah berjalan baik sehingga banyak pasien TB yang terdiagnosis, atau sebaliknya dapat menunjukan bahwa memang program yang dilaksanakan belum maksimal sehingga masih banyak masyarakat yang akhirnya menderita TB.
Selain permasalahan TB yang tidak kunjung usai, masalah yang kini juga menjadi salah satu penghambat pembangunan kesehatan Indonesia adalah kasus defisitnya dana BPJS Kesehatan. Menurut hasil audit dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diperkirakan bahwa defisit yang dialami BPJS Kesehatan hingga akhir tahun 2018 dapat mencapai Rp. 10,5 triliun. Defisit ini terjadi karena tidak seimbangnya penerimaan iuran dari peserta dengan pengeluaran yang dikeluarkan BPJS Kesehatan yang cukup besar, yang salah satunya disebabkan karena sebagian besar penyakit yang diderita masyarakat adalah penyakit kronis, Pemanfaatan layanan BPJS Kesehatan oleh masyarakat memang mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya, yang menunjukan bahwa semakin tingginya kepesertaan BPJS Kesehatan. Namun peningkatan pemanfaatan tersebut tidak diikuti oleh peningkatan sumber daya finansial yang dimiliki BPJS Kesehatan. Salah satu solusi yang mencuat ke public adalah menaikan besar iuran yang harus dibayar peserta, Saat ini memang pemerintah telah memberi bantuan dana bagi BPJS Kesehatan, namun bantuan tersebut hanya bersifat jangka pendek, sehingga menaikan iuran menjadi salah satu solusi terbaik untuk mengatasi defisit di masa depan. Hanya saja hingga saat ini BPJS Kesehatan belum memberikan kepastian apakah akan menaikan iuran atau tidak. Yang pasti, jika tidak segera diambil tindakan penanggulangan, maka lambat laun defisit yang dialami BPJS Kesehatan akan semakin membengkak dan tentunya akan berdampak buruk bagi pelayanan kesehatan di berbagai fasilitas kesehatan penyedia layanan JKN.
Masalah kesehatan selanjutnya yang kini masih menjadi perhatian adalah kasus gizi buruk, yang salah satunya menyita perhatian publik beberapa waktu lalu yaitu KLB Stunting yang terjadi di Asmat pada awal 2018. Secara keseluruhan, prevalensi kejadian stunting di Indonesia adalah 29% pada tahun 2016. Padahal, menurut WHO pada tahun 2010, batas maksimal kejadian stunting di suatu negara adalah sebesar 20%, ini berarti kejadian stunting di Indonesia telah melewati batas anjuran dari WHO.  Ada beberapa penyebab terjadinya stunting, antara lain kurangnya asupan gizi selama masa kehamilan, selama masa menyusui dan selama masa 1000 hari pertama kehidupan. Selain itu, stunting juga dipengaruhi oleh kualitas pangan yang rendah, dan pola konsumsi makanan yang buruk di kalangan masyarakat. Jika ditelisik lebih dalam lagi, kondisi ekonomi menjadi faktor yang berpengaruh besar terhadap kejadian stunting. Indonesia menjadi salah satu negara di dunia dengan pertumbuhan ekonomi terbaik, namun pemerataan ekonomi masih berpusat di beberapa daerah tertentu saja, hal ini menyebabkan masih ada daerah yang masyarakatnya memiliki kondisi ekonomi yang buruk. Buruknya kondisi ekonomi di masyarakat akan mempengaruhi daya beli mereka, termasuk daya beli terhadap bahan pangan yang sehat. Sehingga, kondisi ekonomi yang buruk akan meningkatkan potensi terjadinya kasus gizi buruk dimasyarakat. Maka dari itu, pemerataan ekonomi menjadi salah satu solusi yang harus dilaksanakan pemerintah guna menurunkan kasus gizi buruk di Indonesia, karena tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ekonomi menjadi sektor penopang berbagai kondisi kesehatan di masyarakat.
Permasalahan berikutnya yang saat ini memang sedang digalakan oleh pemerintah adalah mengenai imunisasi penyakit. Seperti kita ketahui bahwa beberapa waktu lalu terjadi peningkatan kasus difteri dan campak yang sangat signifikan di masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan perlu dilaksanakannya evaluasi terhadap cakupan vaksinasi dan kualitas vaksin di masyarakat. Pemerintah sendiri telah mengakui bahwa ada peningkatan cakupan vaksinasi dasar dari tahun 2015 yang sebesar 86,5% menjadi 92,4% pada tahun 2017. Meskipun begitu, tetap saja terjadi peningkatan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti campak, rubella dan difteri yang telah disebutkan diatas. Peningkatan cakupan imunisasi perlu untuk dilaksanakan guna mencegah penyakit-penyakit tersebut muncul kembali. Namun, muncul permasalahan lain yang merebak di masyarakat mengenai vaksinasi ini, seperti adanya kasus vaksin palsu dan isu vaksin yang tidak halal. Isu-isu tersebut meresahkan masyarakat dan menyebabkan masyarakat kurang percaya akan keabsahan vaksin yang diberikan. Maka dari itu, upaya meningkatkan cakupan vaksinasi harus juga diikuti dengan upaya peningkatan pengetahuan di masyarakat agar masyarakat tidak enggan untuk melaksanakan vaksinasi. Selain itu, penguatan sistem surveilans juga wajib dilaksanakan, agar mampu mendeteksi dini penyakit-penyakit yang berpotensi menyebabkan timbulnya kejadian luar biasa.

Sesungguhnya masih ada banyak permasalahan kesehatan yang dialami oleh Indonesia hingga kini, namun permasalahan-permasalahan diatas yang beberapa waktu lalu dan hingga kini masih menghebohkan masyarakat.
Selama 54 tahun upaya pemerintah untuk membangun kesehatan bangsa Indonesia memang sudah menimbulkan berbagai dampak positif, namun tetap saja dibalik semua hal positif itu masih ada hal-hal negatif atau permasalahan yang harus segera diatasi agar tidak menjadi beban bagi upaya pembangunan kesehatan bangsa. Permasalahan-permasalahan tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah khususnya kementerian kesehatan, namun juga menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk masyarakat. Masyarakat hendaknya tidak menutup mata akan keadaan kesehatan di Indonesia. Sesungguhnya masyarakat dapat turut serta mengambil andil dalam upaya pembangunan kesehatan bangsa. Caranya sederhana yaitu dengan membiasakan diri melaksanakan pola hidup bersih dan sehat, serta laksanakan gerakan masyarakat hidup sehat. Ingatlah bahwa perilaku hidup sehat dalam keseharian dapat mencegah terjadinya berbagai penyakit. Dengan begitu, secara tidak langsung masyarakat telah membantu mengurangi beban pemerintah dalam hal penanggulangan penyakit. Sehingga, dana yang seharusnya digunakan untuk penanggulangan penyakit, dapat dialokasikan oleh pemerintah untuk membangun sektor lain yang membutuhkan. Akhirnya, upaya pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik, dan mampu meningkatkan kesejahteraan hidup bangsa Indonesia.

AYO HIDUP SEHAT, MULAI DARI KITA!!
Selamat Hari Kesehatan Nasional 2018.


Referensi :
Buku Panduan Hari Kesehatan Nasional ke-54 Tahun 2018, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Infodatin : Kondisi Balita Pendek. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
WHO Global Tuberculosis Report 2016.
http://mediaindonesia.com/read/detail/148017-rakerkesnas-kesehatan-2018-fokus-atasi-3-masalah-kesehatan
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181107190800-78-344797/menimbang-kenaikan-iuran-demi-tambal-defisit-bpjs-kesehatan
http://promkes.kemkes.go.id/hari-kesehatan-nasional/
https://www.liputan6.com/health/read/3347418/kasus-tbc-indonesia-kedua-tertinggi-di-dunia
http://www.depkes.go.id/article/view/18052800006/ini-penyebab-stunting-pada-anak.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PREVALENSI MENINGKAT SETIAP TAHUNNYA, DIABETES MELITUS TIPE II MENJADI ANCAMAN SERIUS DUNIA

Polusi Suara, Bahayakah ?

Indonesia masuk 10 Negara dengan Penderita TBC Terbanyak