ROKOK VS KEMISKINAN
Pemberantasan kemiskinan di
Indonesia sudah berjalan sejak 1984 terhitung sejak Badan Pusat Statistik (BPS)
melakukan perhitungan dan persentase data jumlah penduduk yang miskin. Walaupun
sampai saat ini angka kemiskinan sudah mengalami penurunan hingga 10-15 persen
tiap tahunnya, tetapi angka kemiskinan Indonesia terbilang sangat tinggi dibandingkan
negara-negara ASEAN yang lainnya. Setidaknya upaya pemerintah memberantas
kemiskinan di Indonesia cukup diapresiasi, karena Indonesia termasuk memiliki
peran besar dalam menurunkan angka kemiskinan di ASEAN. Terbukti dalam kurun
waktu 2006 – 2014, kurang dari 40 juta orang telah keluar dari kemiskinan
ekstrim. Tentu data ini jangan membuat pemerintah tinggi hati, karena masih
banyak permasalahan kemiskinan di Indonesia ditinjau dari berbagai aspek
terutama aspek kesehatan.
Masalah kesehatan masyarakat masih
menjadi faktor besar dalam menyumbang angka kemiskinan di Indonesia. Terlebih
lagi perilaku masyarakat yang masih belum bisa meninggalkan perilaku serta
tradisi yang tidak sehat. Selain itu, perekonomian masyarakat masih menjadi
momok dan alasan masyarakat lebih memilih melakukan tradisi dan adat para
leluhur dalam mengatasi kesehatan pada dirinya daripada berkonsultasi atau
berobat di fasilitas kesehatan terdekat.
Perilaku masyarakat memiliki
pengaruh yang besar dalam mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat di
Indonesia. Karena dari perilaku yang sehat menggambarkan pola paradigma
masyarakat yang sudah sehat, sebaliknya jika perilaku yang tidak sehat
menggambarkan pola paradigma masyarakat yang tidak sehat. Terlebih dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu mengesampingkan aspek kesehatan dibandingkan
aspek yang lain seperti ekonomi, pendidikan, sandang, dan sebagainya. Sehingga
pada realisasinya di kehidupan masyarakat tidak menganggap penting aspek
kesehatan dirinya agar tetap sehat dalam kondisi dan situasi apapun. Misal saja
contoh perilaku yang tidak sehat adalah kebiasaan merokok di masyarakat yang
sudah semakin parah dampaknya bagi kesehatan dirinya, orang lain, dan
lingkungan sekitar.
Salah satu perilaku yang tidak sehat
dan sudah membudaya di Indonesia sejak dulu adalah perilaku merokok. Sungguh
miris, bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki pengguna rokok terbanyak
ketiga di dunia. Tidak heran bahwa masyarakat Indonesia merupakan salah satu
pengguna rokok terbesar di dunia, karena pernyataan tersebut relevan dengan
hasi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS bahwa komoditi rokok
filter merupakan penyumbang terbanyak angka kemiskinan di Indonesia setelah
komoditi beras dengan angka 9,98% pada penduduk perkotaan dan 10,70 pada
penduduk pedesaan. Seharusnya hal ini harus menjadi perhatian besar oleh
pemerintah dalam mengatur dan membatasi peredaran dan produksi rokok di
Indonesia. Karena kalau masalah ini tidak diperhatikan, khawatirnya angka
kemiskinan dapat bertambah, belum lagi kenaikan harga dari komoditi lainnya
yang dapat mempengaruhi angka kemiskinan pula.
Problematikanya tidak harus mengacu
pada perilaku serta paradigma masyarakat saja, tetapi kita juga perlu perhatian
khusus kepada para pemangku kebijakan untuk selalu mengawasi keputusan
kebijakan-kebijakan terkait pajak rokok dan peredarannya di Indonesia.
Sementara
pemerintah selama ini selalu bergantung kepada keuntungan pajak rokok di
Indonesia. Selama 10 tahun terakhir, penerimaan negara dari cukai semakin
meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan tren positif ini
sejak 2007 dengan total penerimaan dari cukai sebesar Rp44,68 triliun dan terus
bertambah hingga Rp145,53 triliun pada 2016. Proporsi penerimaan cukai
terhadap total penerimaan negara sebesar 6,31 persen pada 2007. Porsi ini
meningkat menjadi 7,10 persen pada 2012 dengan total penerimaan cukai sebesar Rp95,03
triliun. Pada 2015, proporsinya sebesar 9,59 persen dari total penerimaan
negara sebesar Rp144,64 triliun. Data ini membuktikkan bahwa pemerintah masih
mengandalkan keuntungan dari pajak rokok ketimbang memikirkan aspek kesehatan
masyarakatnya. Selain itu, isu Anggaran BPJS deficit juga masih menjadi
polemiik di dunia pelayanan kesehatan. Kemudian pada Pertengahan November 2017, pemerintah mengeluarkan peraturan baru
yakni Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PMK RI) Nomor 53 Tahun
2017 yang memuat perubahan terhadap PMK RI Nomor 40 Tahun 2016 tentang Petunjuk
Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
Pajak rokok merupakan pungutan atas cukai rokok sedangkan cukai merupakan
pungutan negara atas barang kena cukai, termasuk rokok (produk tembakau), yang
harus dikendalikan konsumsinya, diawasi distribusinya, dan penggunaannya memberi dampak negatif bagi
masyarakat serta lingkungan hidup. Pajak rokok sebagian dipergunakan untuk
pelayanan kesehatan masyarakat. Semakin jelas bahwa pemerintah tidak
benar-benar mengawasi, membatasi, dan mengatur produksi dan pendistribusian
rokok di Indonesia.
Melihat dari data dan kebijakan yang
dikeluarkan seolah-olah rokok menjadi lading bisnis bagi pemerintah untuk
mendapatkan laba yang besar, parahnya dana dari keuntungan tersebut
dialihlokasikan ke anggaran kesehatan masyarakat yang notabenenya membujuk
masyarakat untuk menjauhi rokok.
Hal ini memicu pergolakan di
akademisi-akademisi kesehatan terutama kesehatan masyarakat yang menolak hal
tersebut. karena hal ini tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat Indonesai
tetapi juga mengancam ekonomi masyarakat karena beban biaya kesehatan yang
harus ditanggung juga mengancam ekonomi negara karena semakin banyaknya
masyarakat yang terbebani oleh biaya kesehatannya sehingga negara harus
membiayai biaya kesehatan masyarakatnya melalui UKP (Usaha Kesehatan
Perorangan) yang dalam hal ini yakni BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan
Sosial).
Justru saat ini, akademisi kesehatan
harus berkerja sama dengan pemerintah untuk mengatur, mengelola, serta
membatasi produksi rokok serta pendistribusiannya kepada masyarakat karena hal
ini jika dibiarkan secara terus menerus akan berakibat parah dan berdampak
kepada semua aspek. Yang utama kita akan semakin tertinggal dengan
negara-negara tetangga yang justru mereka sudah mulai meninggalkan rokok secara
perlahan demi kesejahteraan dan kesehatan masyarakatnya. Salah satunya yaitu
dengan mengaksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).
FCTC adalah traktat internasional pertama yang
dibahas dalam forum Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Health
Organization). Fungsi dari FCTC itu adalah membatasi dan mengontrol penyebaran
produk tembakau seperti rokok. Produk tembakau ini sudah terbukti menyebabkan
berbagai penyakit berbahaya yang berakhir kematian, membuat kecanduan, dan
pendapatan warga miskin dihabiskan untuk belanja rokok. Mirisnya, Indonesia
merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum menandatangi
kesepakatan mengenai FCTC. Tentunya dampak akibat rokok akan terus berlanjut
semakin parah sampai Indonesia bersedia meratifikasi FCTC sebagai upaya
pengendalian produksi serta pendistribusian rokok di Indonesia.
Mari kita bersama dukung presiden
untuk meratifikasi FCTC sebagai bentuk upaya Indonesia bebas asap rokok demi
tercapainya Indonesia yang maju, sehat, dan sejahtera. Dengan Indonesia
meratifikasi FCTC, maka kita telah menyelamatkan generasi muda dari
penyakit-penyakit yang datang akibat rokok serta membantu perekonomian negara
lebih baik lagi.
Saifullah Putra
Divisi
Litbang ISMKMI Wilayah 3
Referensi:
Nadilah
Salma. 2017. Perhatian negara terhadap pembangunan kesehatan belum sebesar
perhatian pada pembangunan sektor lainnya. Artikel.
Badan Pusat Statistik. Profil Kemiskinan di Indonesia September
2017. No. 05/01/Th. XXI, 2 Januari 2018
https://nasional.tempo.co/read/779728/183-negara-setuju-fctc-jokowi-indonesia-jangan-ikut-ikutan
Komentar
Posting Komentar