PENYAKIT KUSTA: “INDONESIA SEBAGAI NEGARA DENGAN
PENDERITA KUSTA TERBANYAK KETIGA DI DUNIA”
Sejarah mencatat penyakit kusta merupakan penyakit
yang setiap tahunnya telah menyerang manusia bahkan dimulai sejak sekitar tahun
600 SM. Pada saaat itu, masyarakat percaya penyakit ini disebabkan oleh
keturunan ataupun kutukan dari dosa. Namun pada tahun 1873, baru ditemukannya
penyebab penyakit kusta tersebut yaitu Mycobacterium
leprae yang ditemukan oleh seorang dokter asal Norwegia bernama Dr. Gerhard
Armauer Henrik Hansen. Sehingga penyakit kusta atau lepra ini juga dikenal
dengan penyakit Morbus Hansen sesuai dengan nama penemunya (Kemenkes RI, 2015).
Pada tahun 2013, WHO menyatakan penyakit ini telah endemis dibeberapa
regional WHO yang memiliki distribusi penyakit kusta tertinggi yaitu Asia
Tenggara (72%), Amerika (15%), Afrika (10%), Pasifik Barat (2%) dan Mediterania
Timur (1%). Sedangkan negara yang memiliki prevalensi kusta tertinggi di dunia
pada tahun 2013 adalah India dengan 126.913 kasus, diikuti oleh Brazil sebanyak
31.044 kasus dan negara ketiga dengan jumlah kasus kusta tertinggi di dunia
adalah Indonesia dengan jumlah kasus 16.856 (WHO, 2013).
Di
Indonesia istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kustha yang berati kumpulan gejala-gejal
kulit secara umum. Secara keseluruhan prevalensi kejadian kusta di Indonesia
yaitu 0,78 per 10.000 penduduk pada tahun 2015. Namun sampai saat ini,
Indonesia belum dapat mengeliminasi penyakit kusta (≤ 1 per 10.000 penduduk)
secara komprehensif. Tercatat masih ada 14 provinsi di Indonesia yang masih
memiliki prevalensi penyakit kusta diatas 1 per 10.000 atau high burden penduduk yaitu Banten,
Sulawesi Tengah, Aceh, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi
Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan Kalimantan Utara
(Kamal, 2015). Padahal pemerintah telah memiliki berbagai program dalam
mencegah atau mengeliminasi penyakit kusta di Indonesia namun belum dapat
memberikan hasil yang komprehensif.
Secara
etiologi, kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae yang termasuk dalam bakteri aerob dengan ukuran 1 – 8 micro dengan
lebar 0,2 – 0,5 micro. Bakteri ini memiliki sifat yang sama dengan bakteri pada
TBC yaitu basil tahan asam (BTA) yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai
akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol. Bakteri ini dapat
melakukan proses perkembangbiakan selama 2-3 minggu pada inangnya dan dapat
bertahan selama 9 hari diluar tubuh inangnya atau manusia (Kemenkes RI, 2015).
Penularan penyakit ini bisa disebabkan oleh kontak langsung yang berulang-ulang
dengan luka/lesi penderita atau dapat melalui pernapasan. Tanda-tanda bagi
orang yang terindikasi penyakit kusta sebagai berikut:
1.
Muncul bercak
putih disekitar tubuh seperti panu yang akan semakin melebar dan bertambah.
2.
Bintil-bintil
kemerahan disekitaran badan.
3.
Terdapat bagian
tubuh yang tidak dapat mengeluarkan keringat.
4.
Kesemutan
dibeberapa bagian tubuh dan disekitaran wajah.
5.
Mengalami Facies Leomina (muka singa) yaitu tumbuh
benjolan-benjolan disekitaran wajah.
6.
Luka lama sembuh
dan apabila ditekan tidak terasa sakit.
7.
Mati rasa.
Berdasatkan
bebannya, penyakit kusta dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu kusta tinggi/ high burder dengan jumlah kasus baru
> 10 per 100.000 penduduk dan kusta rendah/ low burden dengan jumlah kasus < 10 per 100.000 penduduk. Penyakit
kusta dikenal sebagai penyakit yang menyeramkan karena dapat mengakibatkan
deformitas atau kecacatan pada tubuh. Selain itu sulitnya proses diagnosis
terhadap indikasi penyakit kusta baik di fasilitas kesehatan ataupun di
lingkungan masyarakat dapat mengakibatkan keterlambatan dalam penanganan.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa sekitar 30% angka deformitas atau kecacatan
akibat kusta diakibatkan dari keterlambatan dalam penemuan kasus baru (Kamal,
2015).
Selain
dampak penyakit kusta pada tubuh penderitanya, kusta juga dapat menyebabkan
masalah sosial di masyarakat yaitu adanya stigma terkait Leprophobia atau ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap penderita
atau penyakit kusta. Stigma tersebut dapat mengakibatkan masalah sosial atau
diskriminasi terhadap penderita kusta seperti susahnya mendapat pekerjaan,
ditolak dalam pelayanan kesehatan, sulit mendapatkan jodoh dan dijauhi keluarga
dan temannya (Kamal, 2015). Hal ini dapat menjadi salah satu
penyebab yang dapat menghambat proses pencegahan dan penanggulang terhadap
penyakit kusta di Indonesia. Padahal fakta menyebutkan hanya enam dari tujuh
kasus kusta tidak menular pada orang lain. Selain itu fakta lain terkait kusta
adalah kusta merupakan penyakit yang dapat disembuhkan dengan obat dan dapat
dilakukan pencegahan terdahap kecacatan apabila dilakukan pengobatan secara
rutin setidaknya selama enam bulan berturut-turut (Kemenkes RI, 2015).
Tepat
tanggal 25 Januari seluruh dunia akan memperingati Hari Kusta Sedunia atau World Leprosy Day yang ditujukan utik
meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pencegahan penykit kusta dan
meningkatkan motivasi serta mengubah pandangan terkait stigma negatif pada
penderita kusta yang juga memerlukan perhatian bagi masyarakat disekitarnya. Sebenarnya
kecacatan yang diakibatkan oleh penyakit kusta ini dapat dicegah melalui
beberapa hal sebagai berikut (Kemenkes RI, 2012)
1. Melakukan 3 M (Memeriksa, Melindungi, Merawat) yang
meliputi memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur, melindungi mata,
tangan dan kaki dari trauma fisik dan merawat diri.
2. Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan
fungsi saraf secara rutin.
3. Membersihkan luka atau bekas luka dengan baik dan
benar. Bisa menggunakan sabun dan direndam selama 20-30 menit untuk
membersihkan bagian luka yang menebal.
4. Untuk vaksinasi penyakit kusta dapat dilakukan
dengan menggunakan vaksin BCG.
Sumber Pustaka:
Kamal, Muhammad dan
Santi Martini. Kurangnya Konseling Dan
Penemuan Kasus Secara Pasif Mempengaruhi Kejadian Kecacatan Kusta Tinggat II di
Kabupaten Sampang. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3 No. 3; 2015. Hal
290-303.
Kemenkes RI.
2015. Infodatin Kusta. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI.
WHO (World
Health Organization). The Weekly
Epidemiological Record (WER) Vol. 2014 No. 36 Tahun 2014. Terdapat pada http://www.who.int/wer/2014/wer8936.pdf. DIakses tanggal 13 Januari 2018.
Komentar
Posting Komentar