PRESS RELEASE Diskusi Online “Ada Apa dengan BPJS?”
PRESS
RELEASE
Diskusi
Online
“Ada
Apa dengan BPJS?”
Narasumber
: Riyan Aprilatama, S.KM
Oleh
: Divisi Litbang ISMKMI Wilayah 3
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial) dibentuk menurut UU 24/2011. Pada saat
BPJS Kesehatan beroperasi, PT Askes (Persero) dinyatakan bubar. BPJS Kesehatan
secara de facto menggunakan “pakaian” Askes, pegawainya, aset, dan
liabilitasnya adalah pegawai, aset dan liabilitas Askes. Askes dibubarkan
karena tidak mungkin menyelenggarakan jaminan sosial yang berprinsip nirlaba.
Tugas BPJS Kesehatan adalah menyelenggarakan jaminan kesehatan. Selanjutnya
disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). JKN diatur dalam Perpres No.12 Tahun
2013 sudah mengalami perubahan. Substansi pokok perubahannya adalah besaran
iuran. Kelas 1 berubah menjadi Rp. 81.000,- Kelas 2 berubah menjadi Rp.
51.000,- dan kelas 3 meski sempat berubah tetapi mengalami revisi menjadi tetap
Rp.25.000,- . Iuran bagi Pekerja Penerima Upah Non Penyelenggara Negara berubah
dari 4,5 % menjadi 5% dengan distribusi 4% dibayarkan pemberi kerja dan 1%
kewajiban pekerja.
Dalam hal ini, BPJS Kesehatan adalah
Badan, Institusi, Hardware sedangkan JKN adalah program, software dan KIS
(Kartu Indonesia Seshat) adalah tanda identitas bagi peserta JKN. Jadi, peserta
JKN pasti pegang KIS yang diterbitkan oleh BPJS Kesehatan. Perbedaan kelas
ditujukan untuk menyediakan pilihan bagi peserta yang disesuiakan dengan
preferensi pribadi. Tidak ada aturan pemilihan kelas, peserta mandiri bebas
menentukan kelas yang dikehendaki. Pekerja penerima upah dibawah 4 juta berhak
atas kelas 2 dan diatas 4 juta berhak atas kelas 1.
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek
mengatakan, BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp. 9 Triliun. Dalam
penyelenggaraan JKN, BPJS Kesehatan terikat aturan pengelolaan keuangan. Terdapat
dua kategori dana. Pertama dana Jaminan Sosial (Jamsos) merupakan dana kolektif
iuran seluruh peserta yang membayar. Kedua, dana BPJS merupakan dana yang
digunakan untuk menjalankan operasi badan, termasuk didalamnya belanja pegawai.
Secara garis besar, BPJS dibedakan menjadi dua yaitu PBI dan non PBI. Semua
iuran yang berasal dari PBI maupun non PBI masuk kedalam rekening dana jaminan
sosial. Adanya defisit yang dialami oleh
BPJS lantaran adanya missmatch antara
pendapatan iuran dengan pengeluaran untuk biaya pelayanan kesehatan. Dalam hal
ini yang mengalami defisit adalah dana jaminan sosial (jamsos). Hal ini
meyebabkan missmatch karena
pendapatan tidak sebanding dengan pengeluaran. Terdapat dua hal yang telah
diidentifikasi menjadi penyebab atas peristiwa ini yaitu adanya gap antara
nilai ideal aktuaria iuran dengan iuran yang ditetapkan dan karena meningkatnya
tren biaya pelayanan karena perkembangan penyakit dan kebocoran sistem rujukan
berjenjang. Artinya dalam hal ini tidak
hanya BPJS Kesehatan yang defisit lebih tepatnya Program JKN yang mengalami
defisit. Defisit pada JKN menyebabkan resiko
mandegnya program.
Bagaimana dengan mutu pelayanan,
efektivitas tindakan dan efisiensi biaya bpjs kesehatan? Secara prinsip, JKN
mengadopsi managed care yang memungkinkan efektivitas tindakan dan efisiensi
pembiayaan. Oleh karenanya, terdapat sistem rujukan berjenjang yaitu penggunaan
sistem pembayaran kapitasi dan INA CBGs. Managed care ampuh melawan supply injust demand dan costumer ignorance. Cara BPJS melalui
managed care untuk menghindari adanya adverse selection adalah dengan
meningkatkan kolektabilitas iuran dan perluas cakupan peserta terutama yang
sehat, koordinasi dengan pemangku utama, pemberian informasi sampai upaya
kepatuhan.
Setidaknya ada tiga cara yang
dilakukan BPJS dalam menangani terjadinya defisit. Pertama, menetapkan strategi
baru yaitu peningkatan jumlah iuran (melakukan upaya – upaya penagihan iuran
kepada wajib bayar yang menunggak) dan perluasan peserta. Kedua, berkomunikasi
dengan pemerintah melalui lembaga setingkat (Kementerian keuangan, Kementerian
kesehatan, kemenko PMK?. Ketiga, upaya – upaya teknis untuk efisiensi
pengeluaran, misalnya dengan penegakan diagnosa klaim.
Secara prinsip, selama status
kepesertaannya masih aktif dalam artian
rutin membayar iuran atau tidak ada tunggakan, resiko akan ganguan kesehatan ditanggung
oleh BPJS. Jika realitanya terdapat rumah sakit atau tempat berobat yang tidak
menerima pasien BPJS atau pelayanan lama kepada pasien BPJS itu hanya terjadi di fasilitas kesehatan yang
tidak bekerjasama dengan BPJS. Terkait antrian panjang itu faktual karena sekarang
semua orang memiliki akses yang sama akan pelayanan kesehatan tetapi tidak
diimbangi dengan ketersediaan fasilitas, akibatnya antrean mengular dan kamar
penuh dan seterusnya. Solusi yang ditawarkan adalah pemerintah melakukan
penambahan fasilitas kesehatan.
BPJS menjalankan program preventif
dan promotif berskala UKP. BPJS tidak memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
program preventif dan promotif berskala UKM.
Berdasarkan UU nomor 24 tahun 2011,
Perpres No.12 Tahun 2013 dan perubahan – perubahannya dan PP No.86 Tahun 2013 program
BPJS adalah wajib. Pengguna JKN sangat berbanding lurus dengan keberlangsungan
program. Oleh karenanya, jumlah peserta sangat berpengaruh besar terhadap
pengembangan program.
Komentar
Posting Komentar